1.
PENDAHULUAN
1.1.
Latar Belakang
Pemilihan Kepala Daerah atau yang sekarang lebih
dikenal dengan Pilkada secara langsung merupakan sebuah kebijakan yang diambil
oleh pemerintah yang menjadi momentum politik besar untuk menuju demokratisasi.
Momentum ini seiring dengan salah satu tujuan reformasi, yaitu untuk mewujudkan
Indonesia yang lebih demokratis yang hanya bisa dicapai dengan mengembalikan
kedaulatan ke tangan rakyat.
Perubahan
format Pilkada setelah berlakunya UU No. 32 Tahun 2004 telah mengakhiri
pengaruh Pemerintah Pusat yang dominan. Pilkada langsung dilaksanakan sebagai
wujud nyata pelaksanaan demokrasi dalam mengajarkan masyarakat untuk melihat
dan berpikir secara objektif terhadap fenomena politik di tingkat daerah,
sehingga masyarakat tidak semata-mata terfokus pada pola pikir dan perilaku
politik para elite politik yang berkompetisi dalam Pilkada.
Di lain sisi,
Pilkada secara langsung yang dilakukan saat ini juga memiliki sisi negatif
dimana Pilkada secara langsung dianggap tidak efisien, hal ini dikemukakan oleh
Hafiz Anshary yang mewacanakan agar Pilkada dipilih 2 oleh DPRD kembali,
alasannya pemilukada secara langsung tidak efisien mengakibatkan konflik antar
masyarakat, dan maraknya politik uang.
1.2 RUMUSAN
MASALAH
Berdasarkan latar belakang diatas, yang menjadi
perumusan masalah dalam penelitian ini adalah:
a. Apakah pengertian pemilu?
b. Apa sajakah dasar hukum pemilu?
c. Apa itu pemilu 2014?
d. Apa itu DPT?
e. Bagaimanakah permasalahan DPT?
1.3 TUJUAN
PENULISAN
Berdasarkan perumusan masalah diatas yang menjadi
tujuan penelitian ini adalah untuk memberikan solusi atas kisruh Daftar Pemilih
Tetap (DPT).
1.4 MANFAAT
PENULISAN
Manfaat penulisan ini yaitu :
· Sebagai
salah satu syarat tugas mata kuliah Bahasa Indonesia 2 mengenai Pemilukada DKI
Jakarta.
· Hasil
penulisan ini dapat berguna bagi yang membacanya dan menjadi sumbangan saran
kepada pemerintah dalam hal mengurangi daftar pemilih tetap dalam setiap
Pemilu.
· Hasil
penulisan ini dapat memberikan sumbangan pemikiran bagi kalangan akademis
dalam bidang pendidikan dan juga kepada instansi pemerintah dalam melihat
perkembangan sistem demokrasi di Indonesia khususnya DKI Jakarta.
2. Landasan Teori
2.1. Pengertian Pilkada
Setiap Daerah di indonesia Mempunyai
Pemimpin diantaranya adalah Gubernur, Bupati dan wali kota. Nah untuk memilih
pemimpin tersebut maka pemerintah pusat melaksanakan pemilihan langsung yang
dilakukan oleh rakyat dalam satu daerah. Pemilihan ini biasa disebut sebagai
PILKADA.
Pemilihan kepala daerah atau yang biasa
disebut PILKADA atau Pemilukada dilakukan secara langsung oleh penduduk daerah
administratif setempat yang memenuhi syarat. Pemilihan kepala daerah dilakukan
satu paket bersama dengan wakil kepala daerah. Kepala daerah dan wakil kepala
daerah yang antara lain Gubernur dan wakil gubernur untuk provinsi, Bupati dan
wakil bupati untuk kabupaten, serta Wali kota dan wakil wali kota untuk kota.
Pilkada diselenggarakan oleh Komisi
Pemilihan Umum (KPU) Provinsi dan KPU Kabupaten/Kota dengan diawasi oleh
Panitia Pengawas Pemilihan Umum (Panwaslu) Provinsi dan Panwaslu
Kabupaten/Kota. Sedangkan Khusus untuk daerah Aceh, Pilkada diselenggarakan
oleh Komisi Independen Pemilihan (KIP) dengan diawasi oleh Panitia Pengawas
Pemilihan Aceh (Panwaslih Aceh).
Pengertian Lain tentang Pilkada adalah
Pemilihan Gubernur dan pemilihan Bupati/Walikota yang merupakan sarana
pelaksanaan kedaulatan rakyat di provinsi dan Kabupaten/Kota untuk memilih
Gubernur dan Bupati/Walikota berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
2.2. Dasar Hukum Pilkada
Dalam penyelenggaraan
PILKADA telah diatur dalam Undang-Undang berikut adalah Dasar Hukum
Penyelenggaraan PILKADA yang antara lain adalah :
- Undang-undang (UU) Nomor: 32
tentang Pemerintah Daerah
- Undang-undang (UU) Nomor: 32
tentang Penjelasan Pemerintahan Daerah
- Peraturan Pemerintah (PP)
Nomor: 17 tentang PERUBAHAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 6 TAHUN 2005
TENTANG PEMILIHAN, PENGESAHAN PENGANGKATAN, DAN PEMBERHENTIAN KEPALA
DAERAH DAN WAKIL KEPALA DAERAH
- PP Pengganti UU Nomor: 3
tentang PERPU NO 3 TAHUN 2005
2.3. Pengertian DPT
Daftar Pemilih Tetap (DPT)
adalah data kependudukan milik pemerintah dan pemerintah daerah yang telah
dimutakhirkan oleh KPU untuk keperluan pemilu. DPT ditetapkan oleh KPU
kabupaten/kota. Data kependudukan sendiri terdiri dari data penduduk dan data
penduduk potensial Pemilih Pemilu (DP4). Jadi, dalam menetapkan DPT KPU
menggunakan data kependudukan yang diberikan pemerintah dan pemerintah daerah
melalui Dinas Kependudukan.
3. Pembahasan
Masalah Daftar Pemilih Tetap (DPT) menjadi salah satu permasalahan klasik
yang mewarnai pemilihan umum kepala daerah dan Pilpres. Menjelang 2014,
permasalahan ini kembali mencuat ke masyarakat. Pasalnya jumlah calon pemilih
Pemilu 2014 yang telah ditetapkan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) tidak sesuai
dengan temuan beberapa partai politik. Jumlah yang diumumkan oleh KPU adalah
sekitar 186 juta dan masih ada 10,4 juta DPT bermasalah. KPU kemudian
memverifikasi lagi bahwa sekitar 3,2 juta nama pemilih tidak bermasalah.
Sedangkan PDI Perjuangan mengklaim menemukan sebanyak 10,8 juta daftar pemilih
tetap bermasalah.
3.1. Keakuratan
DPT
Penetapan daftar pemilih tetap (DPT) dalam Pemilu merupakan salah satu
tahapan yang paling krusial dalam menjamin terlaksananya pemilu yang
berkualitas, demokratis, serta jujur dan adil.
Akurasi data pemilih merupakan prasyarat mutlak yang harus dipenuhi oleh
Komisi Pemilihan Umum (KPU) dalam melaksanakan demokrasi elektoral. Akurasi daftar pemilih akan menentukan legitimasi dari
Pemilu 2014.Disana terdapat hak konstitusional warga negara yang dijamin oleh
undang-undang untuk ikut memilih dan dipilih (rights to vote and rights
to be candidate).
Kisruh tentang DPT bukan merupakan hal baru dalam pemilu di Indonesia.
Sejak pemilu tahun 1999 sampai 2009, DPT memang selalu menjadi catatan
tersendiri. Tahun 2004 menurut survei Jaringan Universitas dan Lembaga Swadaya
Masyarakat tercatat sebanyak 9% pemilih tidak terdaftar. Sedangkan tahun 2009
merupakan pemilu dengan DPT paling amburadul, jutaan warga tidak dapat memilih
karena tidak terdaftar dalam DPT.
Pada pemilu tahun 2014 ini, KPU menyebutkan bahwa rekapitulasi DPT 33
Provinsi menghasilkan 545.362 TPS, serta dari 80.801 desa / kelurahan, 496
kabupaten / kota, total pemilih dalam DPT berjumlah 186,8 juta orang. Sedangkan
daftar pemilih versi DP4 Kemendagri berjumlah 190 juta orang. Terdapat selisih
sekitar 4 juta daftar pemilih antara data KPU dan Kemendagri.
Data DPT yang disajikan oleh KPU ternyata masih belum valid, karena berdasarkan
hasil temuan Bawaslu masih ada data yang perlu diperbaiki. Temuan Bawaslu
diantaranya mengenai belum sinkronnya data yang ada pada Sistem Pemutakhiran
Data Pemilih (Sidalih) dengan data yang ditetapkan oleh KPU kabupaten/kota.
Misalnya saja Sumatera Utara, berdasarkan hasil Pleno KPU Provinsi menyatakan
pemilih berjumlah 9.840.562 orang. Namun, data yang terdaftar di Sidalih
terdapat 9.803.082 orang. Masalah ini tidak hanya di Sumatera Utara, tapi
hampir di seluruh Indonesia.
Meskipun KPU menyatakan data yang valid adalah data yang terdapat dalam
Sidalih, akan tetapi secara legal formal, yang harus dijadikan dasar penetapan
DPT nasional adalah data yang ditetapkan oleh KPU kabupaten/kota. Disamping
data yang belum sinkron, Bawaslu juga masih menemukan sekitar 11.000 data
pemilih yang bermasalah, diantaranya karena NIK ganda, NIK kosong, status
perkawinan tidak terisi bahkan hingga pemilih fiktif.
Persoalan krusial dari
tahapan pemilu–berkaca dari pemilihan sebelumnya–selalu berkutat pada masalah
daftar pemilih. Seharusnya semua pihak, baik KPU, pemerintah, maupun DPR, atau
partai-partai peserta pemilu, memberi perhatian serius kepada akurasi daftar
pemilu. Akurasi daftar pemilih harus betul-betul terjamin
3.2. Penundaan
Pengesahan DPT
Penetapan DPT secara
nasional yang sedianya dilaksanakan pada 23 Oktober lalu, tetapi dalam rapat
pleno Rabu (23/10), KPU memutuskan untuk menunda penetapan hingga 4 November
2013. Selain karena desakan Komisi II DPR dan partai politik yang menolak DPT
ditetapkan kala itu, KPU mengambil keputusan itu karena adanya rekomendasi dari
Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) sebagaimana tertuang dalam Surat Bawaslu Nomor
762/Bawaslu/X/2013. Pada lampiran surat tersebut, Bawaslu menyebut masih
terdapat 10,8 juta data yang masih bermasalah. Selain itu juga memang masih ada
perbedaan data antara data di DPT dan data di Sistem Informasi Data Pemilih
(Sidalih).
Anggota KPU, Ferry Kurnia
Rizkiansyah, menjamin penundaan pengesahan DPT tidak mengganggu tahapan pemilu
karena DPT hanya terkait dengan pengadaan logistik pemilu.
Selain itu, Ramlan juga
mengatakan keterlambatan penetapan DPT itu tidak masalah bila ditujukan untuk
menjamin akurasi daftar pemilih dan tidak berdampak pada penyelenggaraan pemilu
secara keseluruhan.
Memang, molornya penetapan
DPT itu bisa saja berdampak pada terlambatnya proses pengadaan dan distribusi
logistik, misalnya surat suara. Tetapi, bila molornya penetapan DPT itu demi
menjamin akurasi daftar pemilih, keterlambatan logistik bisa ditoleransi.
Dari sudut pandang berbeda,
penundaan tahapan pemilu, dalam hal ini pengesahan DPT dan seringnya putusan
KPU dianulir, baik oleh Bawaslu maupun Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu,
berpotensi memengaruhi kredibilitas penyelenggara pemilu. Makin kerap KPU
menunda atau menggeser tahapan pemilu pasti memengaruhi persepsi publik tentang
kemandirian KPU itu sendiri.
Kesemrawutan DPT sebenarnya
adalah masalah laten bangsa ini. Meski setelah Orde Baru berakhir kita sudah
menggelar tiga kali pemilu, penyakit laten DPT ini tetap menjadi soal dan terus
saja dipersoalkan.
3.3. DPT
dan Partisipasi Politik
KPU telah bergerak selangkah menuju Pemilu 9 April 2014. Dari data KPU,
jumlah pemilih Pemilu 2014 bertambah. Dibandingkan dengan Pemilu Legislatif
2009 terdapat lonjakan jumlah pemilih terdaftar sekitar 10%, yaitu dari
171.068.667 menjadi 188.622.535 pada tahun 2014 nanti. Jumlah pemilih dari tiap
pemilu menunjukkan tren meningkat. Hal itu wajar karena jumlah penduduk
bertambah.
Namun, sayangnya tren kenaikan jumlah pemilih tidak sebanding dengan
partisipasi politik pemilih. Partisipasi politik justru menurun sejak Pemilu
Legislatif 2009. Tingkat partisipasi politik mencapai 92,74% pada pemilu 1999
dan pada Pemilu Legislatif 2009 berada di angka 70,96%. Ada penurunan tingkat
partisipasi politik 20%.
Pemilu 1999 menjadi klimaks dari partisipasi politik masyarakat. Euforia
politik terjadi seiring dengan berakhirnya Orde Baru. Namun, seiring dengan
kian seringnya pemilu digelar, baik di tingkat nasional (presiden, DPR, dan
DPD) maupun di tingkat daerah (gubernur dan wali kota), terasa ada kejenuhan
politik. Bagi sebagian anak muda, politik menjadi tidak menarik. Demokrasi
hanya menghasilkan anggota legislatif dan pemimpin. Namun, demokrasi belum
menghadirkan kesejahteraan rakyat.
Pada situasi psikologis-politis seperti ini pemilu 9 April dilangsungkan.
Kita mendorong KPU membersihkan daftar pemilih tetap (DPT) bermasalah.
Bermasalah dalam arti DPT tidak terdapat nomor induk kependudukan (NIK) yang
tidak standar. Padahal kehadiran KTP elektronik dengan satu nomor identitas
seharusnya bisa mencegah manipulasi data diri.
Semangat rakyat Indonesia untuk berpartisipasi dalam dunia politik harus
digairahkan pada Pemilu 2014 nanti. Di Indonesia, memilih adalah hak bukan
kewajiban. KPU dan partai politik harus ikut mendorong pemilih apatis menjadi
pemilih partisipatif dengan menghadirkan caleg dan pemimpin yang memberikan
harapan baru, bukan sekedar janji-janji manis belaka.
3.4. Potensi
Golput
Permasalahan DPT akan berdampak pada meningkatnya masyarakat Golongan Putih
(Golput). Sikap masyarakat yang seperti itu wajar saja terjadi mengingat
semrawutnya DPT yang tak kunjung terselesaikan. Sikap apatis masyarakat itulah yang pada akhirnya membuat pemilu terancam
gagal. Sebab, ketika apatisme masyarakat semakin tinggi dan luas terhadap
pelaksanaan pemilu mengingat DPT-nya yang bermasalah, dengan sendirinya angka
golput akan tinggi pula. Apa yang diharapkan dari pemilu yang DPT-nya belum
jelas.
Jika kondisi itu tidak
disikapi secara serius dan diimbangi dengan pembenahan, bukan tidak mungkin
potensi golput pada pemilu nanti akan meningkat drastis. Berkaca dari
pelaksanaan pemilu, terjadi peningkatan angka golput selama dua pemilu
terakhir. Angka golput Pemilu 2004 mencapai 23,34% dari total pemilih dan
meningkat pada Pemilu 2009 menjadi 39,1%. Kekhawatiran mengenai rendahnya
partisipasi masyarakat pada Pemilu 2014 dilontarkan juga oleh Wakil Ketua MPR
Lukman Hakim Saifuddin. Menurut dia, parpol, pers, dan masyarakat sipil harus
terus melakukan pendidikan politik ke publik bahwa golput itu tak menyelesaikan
masalah.
Meski masyarakat apatis
terhadap perilaku politisi dan parpol, golput bukan solusi. Masyarakat harus
tetap didorong agar berkontribusi bagi perubahan ke arah yang lebih baik. Wakil
Ketua Umum DPP Partai Persatuan Pembangunan (PPP) ini mengatakan, masyarakat
apolitis bisa menyebabkan parpol jadi tak aspiratif. Pada akhirnya hal itu akan
membuat politisi jadi teralienasi dan hanya asyik dengan diri sendiri. “Jika
itu yang terjadi, negara dan bangsa amat dirugikan”
Jika penyelenggaraan pemilu
dianggap baik, masyarakat akan menyalurkan haknya dengan baik pula. Mengenai
rendahnya kepercayaan publik terhadap parpol dan politisi, Arif mengaku hal itu
tidak bisa dimungkiri. Tapi, dia masih merasakan betul bahwa secara nyata
masyarakat di dapilnya masih menaruh harapan dan kepercayaan besar terhadap
parpol dan anggota legislatif.
Ada berbagai faktor yang
berdampak munculnya DPT bermasalah. Karenanya, masalah ini memang tidak bisa
sepenuhnya diserahkan kepada KPU. Pengawasan terhadap pemilu merupakan
kewajiban dan kewenangan seluruh pemangku kepentingan, termasuk parpol. Kisruh
soal jumlah DPT ini sekaligus menjadi sinyalemen bahwa parpol ikut terlibat untuk
menjamin hak politik masyarakat.
4.Penutup
4.1. Kesimpulan
Berbagai masalah dalam penetapan daftar pemilih tetap (DPT) haruslah
disikapi dengan arif dan bijaksana, tidak selalu mengkambing hitamkan KPU.
Masalah DPT harus diselesaikan dengan bantuan semua pihak, baik pemerintah,
DPR, maupun partai politik.
Masalah DPT ini juga harus segera diselesaikan dengan tuntas agar tidak ada
hak pilih rakyat yang hilang. Memilih dan dipilih adalah hak seluruh rakyat
Indonesia.
4.2. Saran
KPU dan semua elemen yang bertanggungjawab terhadap pemilu harus segera
menyelesaikan permasalahan DPT. Jangan sampai ada rakyat yang tidak bisa
memberikan suaranya hanya karena namanya tidak tercantum dalam DPT.
Masyarakat juga jangan selalu menyalahkan KPU karena untuk mengurus DPT
seluruh Indonesia bukanlah hal yang mudah.
Sumber : http://www.kemitraan.or.id/sites/default/files/Buku_09_Meningkatkan%20Akurasi%20Daftar%20Pemilih.pdf
https://id.wikipedia.org/wiki/Pemilihan_umum_Gubernur_DKI_Jakarta_2012
http://seputarpengertian.blogspot.co.id/2015/11/pengertian-pilkada-atau-pemilukada.html
http://tutiyuniatun.blogspot.co.id/2014/02/makalah-permasalahan-dpt-pada-pemilu.html
http://politik.news.viva.co.id/news/read/733-kamus_pemilu
http://fajarguna.blogspot.co.id/2016/04/penulisan-ilmiah-pemilukada-dki-jakarta.html